//
you're reading...
Uncategorized

Islamku = Islammu, Sundaku ≠ Arabmu ≠ Inggrisnya


Denpasar, 2 Mei 2016

thnpz4ot3bAssalamu’alaiku yaa akhi, ahlan wa sahlan? Afwan, Antum dari mana?”

Ummiy, di mana handuk Abi?”

Mungkin kita pernah mendengar penggalan kalimat seperti di atas dalam kehidupan sehari-hari. Yang uniknya kalimat tersebut diucapkan oleh saudara atau sahabat kita yang berkulit cokelat, bermata dan berhidung, mohon maaf, agak kecil J

Atau mungkin kita pernah dengar kalimat-kalimat seperti di bawah ini:

”Saya berencana segera Go International

Natural Resources Industry adalah hal yang sangat penting, very important, dalam menarik foreign investment…”

Indahnya anugerah hidup sebagai manusia adalah bahwa setiap orang dilahirkan dalam tingkat perbedaan tertentu. Tak hanya jenis kelamin, suku, bangsa, warna kulit, dan bahasa, tapi setiap pribadi adalah sebuah keunikan tersendiri yang Tuhan ciptakan untuk disyukuri dan di-tadabburi atau direnungi untuk dijadikan pelajaran masing-masing pribadi.

Dalam pandangan sederhana saya, memiliki pandangan hidup yang sama tak melulu berarti kita harus meng-copy & paste kebudayaan orang lain. Saya seorang muslim, oleh karena itu sudah barang tentu Islam yang saya anut harus sama dengan Islam yang milyard-an orang lain anut. Tapi tidak berarti bahwa saya harus menyamakan budaya dan cara hidup saya dengan hanya belasan puluhan juta orang di kawasan timur tengah sana. Bagi saya, kebanggaan sebagai seorang muslim adalah sama seperti kebanggaan saya sebagai seorang Sunda dan seorang warga negara Indonesia. Karena itulah saya, itulah jati diri saya. Saya akan merasa luar biasa bangga ketika saya bisa melantunkan Al-Quran dengan makhraj dan tajwid yang benar. Sekaligus juga tidak merasa rendah diri ketika bisa melantunkan kidung dan guguritan Sunda yang sarat makna. Saya merasa wajib mempelajari hadist2 Nabi SAW, memaknai dan menjalankannya sesuai dengan kemampuan saya. Namun juga merasa memiliki kewajiban untuk melaksanakan petunjuk hidup, bertutur, dan bersikap yang diajarkan orang tuan dan nenek moyang saya turun temurun. Dan tidak harus ada pertentangan atau pendikotomian di antara masing-masing identitas diri tersebut.

Praktisnya, betul bahwa Islam berasal dari Arab sehingga penguasaan bahasa Arab adalah penting bagi seorang muslim yang ingin menjalankan agamanya dengan kaffah, namun ketika misalnya saya mengobrol di warung kacang hijau di pinggiran kota Bandung dengan sahabat saya, sepertinya tidak perlulah untuk memamerkan secuil kosa kata Arab saya di situ. Sama seperti misalnya, saya menghabiskan waktu sekian tahun belajar di Australia yang setiap hari mengharuskan saya beribicara Bahasa Inggris di berbagai kesempatan. Namu ketika kembali ke tanah air, bertemu dengan rekan sebangsa yang juga dulu sekolah di sana, bagi saya – sekali lagi bagi saya, saya tidak merasa perlu untuk berbicara dalam frasa-frasa Bahasa Inggris dengan kawan saya tersebut ketika bertemu untuk bersilaturrahmi.

Memang sangat banyak kata-kata serapan Bahasa Indonesia dan bahasa daerah di nusantara yang berasal dari bahasa Arab, namun tidak lantas menjadikan justifikasi bagi warga pribumi bangsa ini untuk mengumbar kemampuan berbahasa Arab di pergaulan sehari-hari di dalam negeri, even ketika berada di masjid. Memang Bahasa Arab adalah bahasa Al-Qur’an yang sempurna, bahasa beberapa nabi dan rasul yang agung, serta bahasa para sahabat yang mulia. Namun perlu diingat juga bahwa durjana-durjana terbesar agama ini pun berbahasa Arab. Abrahah, Abu Jahal, Abdullah bin Ubay, Abdullah bin Saba, dan sederet nama kaafirun munaafikun pun berbahasa Arab.

Saya tidak berusaha mendikotomikan antara Islam Wahabi dengan Islam Nusantara, atau menyetujui konsep Islam Nusantara hasil buah fikir keliru beberapa gelintir petinggi organisasi agama terbesar di negeri ini beberapa waktu lalu. Bagi saya Islam adalah Islam, dia adalah satu. Islam di Arab haruslah sama dengan Islam yang ada di Amerika atau pun di China, tidak ada penyimpangan. Islam yang benar adalah yang berpegang teguh terhadap Al-Quran dan Al-Hadist, ketidaksesuaian dengan keduanya adalah kesalahan yang fatal. Yang berbeda adalah penafsiran individu terhadap kedua sumber tersebut karena perbedaan masing-masing individu yang sekilas tadi saya ungkapkan. Di masa lalu, saya sering menyitir sebuah hadist Rasulullah SAW yang menandaskan bahwa perbedaan di kalangan ummat adalah rahmat. Kini, ketika saya menemui bahwa tak selamanya perbedaan di kalangan ummat dimaknai sebagai rahmat oleh orang-orang yang tidak mau menjadi rahmat bagi sesama ummat lainnya, yang membesar-besarkan perbedaan tersebut, maka saya percaya bahwa perbedaan adalah sebuah keniscayaan. Tinggal kita memilih apakah akan tetap membesar-besarkan sekecil apa pun perbedaan di antara kita, atau memisahkan mana perbedaan yang bersifat prinsipil yang tidak sesuai dengan pokok aqidah agama sehingga tidak dapat ditolelir, atau perbedaan yang masih bisa ditolelir (furu’) dan diposisikan sebagai rahmat dalam ummat.

Kita harus benar-benar tahu kapan memposisikan diri sebagai representasi citra diri tertentu. Kita pun dituntut untuk bisa melakoni identitas diri kita tersebut dengan sesempurna mungkin. Singkatnya, Kapan, di mana, dan dengan siapa kita berbicara menggunakan Bahasa Arab, Inggris, Indonesia atau daerah. Di keluarga saya, saya berusaha untuk sedapat mungkin mengajari budaya leluhur saya: bagaimana bertutur dan bersikap sebaik mungkin sesuai dengan identitas kesundaan dan keindonesiaan. Di saat lain, kami sama-sama belajar menjadi bagian dari ummat dan komunitas global: sama-sama belajar baca tulis Arab atau berbahasa Inggris sesuai tuntutan zaman dan kebutuhan, sehingga walaupun sebagai orang Sunda tetap tahu dan bisa melafalkan huruf ”P”, ”F”, dan ”V” sesuai dengan konteksnya (if you know what I mean, :-P). Di kesempatan lain, ketika saya berbicara dengan sesama USA (Urang Sunda Asli – red), saya berusaha untuk berkomunikasi menggunakan Basa Sunda sesuai dengan undak-usuk basa sebaik mungkin. Ketika berkomunikasi dengan rekan dari suku lain, saya berusaha untuk menggunakan Bahasa Indonesia terbaik yang saya bisa. Pun ketika berkomunikasi atau berkorespondensi dengan rekan dari negara lain, saya akan menggunakan Bahasa Inggris terbaik yang saya kuasai. Intinya, penggunaan bahasa dan simbol-simbol budaya seperti pakaian, aksesoris, musik dan sebagainya, diusahakan harus tepat di masing-masing situasi.

Tapi kembali lagi, semuanya adalah pilihan, dan masing-masing tentunya memiliki preferensi pilihan pribadi yang tidak dapat dipaksakan. Mau memakai bahasa apa pun, menggunakan simbol-simbol budaya apa pun, adalah kebebasan memilih setiap individu. Apakah itu tepat atau tidak, pantas atau tidak, itu urusan lain lagi dan balik lagi ke pribadi masing-masing. Saya sudah menetapkan pilihan saya, bagaimana dengan Anda?

@@@@@@@

About Deni Indra Kelana

It is as it is --- Apa adanya, tanpa ada apa-apanya :D

Discussion

2 thoughts on “Islamku = Islammu, Sundaku ≠ Arabmu ≠ Inggrisnya

  1. Pengalaman yg kurang-lebih sama waktu saya di Mekkah dulu, Kang. Teman-teman “berusaha” supaya saya mau memakai gamis, tapi saya lebih suka pakai baju koko atau batik. Mereka bilang, supaya bisa membaur. Tapi saya lebih suka membaur dan tetap memperlihatkan ke-Indonesia-an saya..

    Posted by Ismawan | October 28, 2016, 1:34 am

Leave a comment

Categories

Enter your email address to subscribe to this blog and receive notifications of new posts by email.

Join 11 other subscribers